Bocah Derita Ningsih, Bocah Pemakan Jari asal Gelung, Panarukan, Situbondo

OKTOBER 2006 silam, kasus Ningsih sempat mencuat ke permukaan. Gadis belia yang kala itu berusia 16 tahun, benar-benar mengundang iba warga. Kondisi Ningsih saat itu sudah amat memprihatinkan. Di tengah usianya yang sudah menginjak remaja, dia memiliki kelainan yang fatal. Selain keterbelakangan mental, secara fisik Ningsih juga tidak berkembang. Dia tidak bisa berjalan dan berbicara dengan mapan.

Kelainan itu yang akhirnya membuat Ningsih memiliki kebiasaan tidak terduga. Dia suka menggerogoti daging pada jari-jemarinya sendiri. Kala itu, sepuluh jari di tangan Ningsih sudah tidak utuh lagi. Kian menjadi prihatin, karena Ningsih hidup di tengah keluarga miskin. Sejak kecil, dia ditinggal ibunya, Ernanik, bekerja ke Malaysia. Dia hanya tinggal bersama neneknya, Bunira dan ayahnya, Munasip, yang hanya berprofesi pedagang minyak keliling.

Upaya pengobatan sempat dilakukan pihak rumah sakit. Saat itu, berkat bantuan pemerintah, Ningsih dirawat di RSUD Situbondo. Karena peralatannya terbatas, Ningsih dirujuk ke RS dr Soebandi, Jember. Namun, perawatan medis hanya mampu sesaat mengubah kebiasaan Ningsih. Kala itu, Ningsih yang gemar makan jari-jemarinya, sedikit mulai berkurang. Namun, perubahan itu tak bertahan lama. Setelah keluar dari RS, kondisinya tetap saja parah.

Malahan, dua tahun berlalu, kebiasaan Ningsih semakin tidak terbendung. Sampai-sampai, sepuluh jari di keduanya tangannya nyaris habis. Sebagai gantinya, belakangan ini Ningsih mulai gemar menggerogoti daging di kedua lengannya sendiri sampai terluka. Anehnya, Ningsih seperti tidak merasa kesakitan. Pihak keluarga hanya mencegahnya, dengan membalut kain tebal dari ujung jari hingga lengan. "Sejak keluar dari rumah sakit, Ningsih memang tidak pernah dirawat lagi. Kami tidak punya biaya," kata Bunira, nenek Ningsih, saat ditemui di rumahnya.

Siang itu, Ningsih sedang bermain sendiri di 'gubuknya'. Dalam kamar berukuran 3 x 4 meter berbahan gedhek (anyaman bambu, red) itulah, Ningsih menghabiskan hari-harinya dengan penuh nestapa. Dengan balutan kain tebal di kedua tangannya, saat itu dia hanya terlihat duduk di lantai. Kadang tersenyum sendiri, kadang termangu, kadang pula seperti orang hendak menangis. "Seperti itu hari-hari cucu saya. Teman sebayanya sudah banyak yang menikah," imbuh Bunira.

Dengan kondisinya yang memprihatinkan, sang nenek Bunira serta ayahnya, Bunasip, masih sangat menyayangi Ningsih. Meski begitu, dua orang tercinta itu tidak bisa berbuat banyak. Hasil menjajakan minyak wangi yang diperoleh Munasip, tak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sementara kiriman dari sang ibu di Malaysia, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sekolah adik Ningsih.

Tidak adanya biaya itu, membuat keluarga Ningsih hanya bisa pasrah. Mereka juga hanya bisa mengelus dada, untuk melihat si Ningsih hidup dan tumbuh layaknya gadis remaja. "Semoga masih ada yang peduli dengan nasib cucu saya," harap Bunira, kali ini sambil meneteskan air mata. (aif)

Pengikut